Tuesday, October 23, 2012

Light On The Darkness


Terima kasih karena kau telah membuatku sadar bahwa aku tidak pernah sendiri di dunia ini. kau berarti untukku. Kita berbeda, kita tak bisa bersama, tapi kau adalah teman terbaikku. Dan terima kasih Ya Allah, kau telah mengirimkan satu orang makhlukmu untuk melindungi setiap langkahku. Aku mencintainya. – Danisse Ramunoff

Kau adalah malaikatku. Kau menyadarkanku bahwa Allah selalu ada di sampingku, meski aku meninggalkannya. Kau menyadariku bahwa aku tidak pernah sendiri di dunia ini, masih ada Allah. Masih ada Tuhan yang menemaniku. Kau membuatku jatuh cinta kepadamu, bidadariku.– Zayn Malik

Kita berbeda. Kita sama sekali tidak bisa bersama. Menjadi teman dekatmu adalah sebuah kebahagiaan untukku. Kau berarti. Lebih dari yang kau tahu. Tugasku sudah selesai. Aku harus pergi. Maafkan aku, aku mencintaimu. – Niall Horan


***


Danisse POV

Ya Allah, harus kemana lagi aku mengadu selain kepadamu? Harus bagaimana aku menyikapi semua ini? Ya Allah, jika tidak ada lagi di dunia ini yang mampu mengerti diriku, aku yakin hanya dirimu yang dapat mengerti aku. Karena kau maha mendengar, kau maha melihat. Kau tahu apa isi hatiku, Ya Allah. Ya Allah, aku tersesat dalam kesendirian. Aku tidak tahu harus kepada siapa aku berkeluh kesah selain kepada dirimu.

Mimpi. Aku memiliki banyak mimpi. Salah satunya adalah menjadi penulis terkenal, memiliki banyak buku yang ku karang sendiri, lalu setelah itu aku akan menjadi penulis yang berhasil. Tapi bagaimana rasanya jika semua impianmu tidak mendapatkan dukungan dari siapapun yang ada di dekatmu? Bagaimana rasanya jika tidak ada yang dapat mengerti apa keinginanmu sebenarnya? Bagaimana jika orang-orang yang kamu sayangi justru hanya dapat menuduhmu, meremehkanmu? Rasanya menyakitkan. Aku seperti berjalan seorang diri di atas semua mimpi-mimpiku yang tersusun rapih. Aku sakit, namun tidak ada yang dapat menyembuhkanku bahkan mengobatinya. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dan di saat aku merasakan semua ini, aku menemukan Allah yang selalu ada di sampingku. Mendengar keluh kesahku, mengerti bagaimana diriku, dan membantuku mewujudkan semua mimpi dan impianku. Juga mengirimkan seorang malaikatnya untukku.


***


Zayn POV

Aku keluar dari club malam itu dan berjalan sempoyongan dengan memegang erat kepalaku yang terasa amat berat. Semua masalah yang ku alami membuatku gila. Orang tuaku yang selalu memperebutkan hak asuhku, teman-temanku yang selalu menjudgeku ini dan itu, serta lingkunganku yang seakan mengejek karena perbedaanku. Semua membuatku tidak bisa bertahan di atas bumi ini. sedangkan bumi terus berputar, aku hanya seorang diri disini. Tidak memiliki siapapun yang dapat mengerti diriku. Aku bahkan tidak dapat menemukan cahaya di tengah teriknya sinar matahari. Aku berada di dalam kegelapan, dimana tidak ada satu pun orang yang mampu melepaskanku dari cengkraman setan-setan di bumi ini. Masalahku justru membuatku semakin menjadi iblis. Aku mabuk, bermain dengan wanita, mencaci maki banyak orang, bahkan melecehkan orang-orang yang tidak bersalah. Aku berdosa. Tuhan... masih pantaskah aku meminta maafmu?

***


Niall POV

Aku berjalan dengan sebuah kamera SLR di tanganku. Memotret adalah salah satu hobby baruku selain menyanyi. Aku berdiri di depan sebuah bangunan megah yang ku kagumi, masjid. Tempat beribadah umat muslim. Aku tersenyum kemudian memotret beberapa bagian depan masjid yang gaya arsitekturnya benar-benar hebat.

“Hello, good afternoon.” Seorang anak laki-laki kecil menyapaku dengan senyum manisnya. Aku hanya bisa membalas senyumannya. Anak laki-laki ini mengenakan pakaian muslimnya. Ia terlihat tampan. “are you a tourist?” tanyanya ramah.

Aku berjongkok, menyamakan tinggiku dengan tingginya, “Hmm.” Gumamku sembari mengangguk. “Im Niall. Come from Mullingar, Ireland.” Jawabku.

“Wah, nice to meet you. Are you muslim?” tanyanya lagi. Matanya berbinar menatapku.

Aku tersenyum lagi, “No, im Christian.” Jawabku dengan gelengan kepala.

“oh sorry. By the way, ini sudah waktunya sholat dzuhur. Aku pergi dulu. Bye. See you.” Anak itu berlari menjauhiku dan segera masuk ke dalam masjid itu dengan semangatnya. Aku jadi ingat saat dulu ibu menyuruhku pergi ke gereja untuk beribadah. Aku begitu malas karena harus bangun pagi. Namun sekarang, saat aku sudah sedewasa ini, aku mengerti bahwa beribadah itu adalah kewajiban. Apapun agamanya, apapun keyakinannya, dan siapapun Tuhannya, beribadah tetap diharuskan.


***


Danisse POV

Aku baru saja melipat mukenaku dan menyimpannya di atas meja begitu mendengar percakapan ibuku dengan saudara sepupuku, Ahmed. Aku menempelkan kupingku di pintu untuk memperjelas suaranya. Bukan maksudku untuk menguping, namun ibu menyebut-nyebut namaku tadi. Dan aku paling tidak suka di bicarakan oleh ibuku sendiri.

“Dani itu selalu saja berkutik dengan laptopnya. Berurusan dengan cerita-cerita bodoh dan semua khayalannya yang tidak pernah menjadi kenyataan.” Kata ibuku sinis. Aku tahu ibu tidak suka aku bercita-cita menjadi penulis. Begitu juga dengan ayahku. Saat tahu bahwa mereka sama sekali tidak menyukainya, aku merasa hatiku teriris. Ini impianku, seharusnya mereka mendukungku bukan mencelaku.

Ku dengar Ahmed tertawa di luar sana, “Danisse itu. Dia pikir menjadi penulis itu mudah? Hahaha.” Aku sangat yakin di luar sana Ahmed sedang tersenyum miring. Seperti meremehkan. Aku bisa, aku bisa menjadi penulis. Memang seburuk itu kah aku sehingga kalian meremehkanku? Aku mampu dan akan ku buktikan itu suatu saat nanti.

Tubuhku merosot. Tidak tahan mendengar celaan ibu dan Ahmed. Memangnya seburuk itukah hasil karyaku? Memangnya sedosa itukah bermimpi? Mengapa semua orang tidak mengerti bagaimana diriku? Mereka hanya bisa mencaciku, mencelaku, tanpa mau tahu bagaimana hasil karyaku terlebih dulu. Aku benci mereka. Aku benci! Tidak ada yang mengerti diriku. Aku benci!


Ku tenggelamkan wajahku di antara kedua kakiku yang ku tekuk. Menangis sepuas-puasnya karena ibu tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku. Ia melukai hatiku. Menjadi penulis adalah impian terbesarku. Sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah menyukai dunia ini. Saat aku sudah mulai mengasah bakatku, ibu justru meremehkanku. Menjatuhkanku ke dasar tebing yang paling dalam. Aku tidak mendapat kepercayaan dari siapapun. Apakah aku tidak mampu menjadi penulis?


~~



Letters To God. Cerita mengenai seorang anak pengidap penyakit kanker yang terus mempercayai bahwa Tuhan selalu ada di sampingnya. Ia juga menuliskan surat-surat untuk Tuhan, berharap Tuhan akan membaca bahkan membalasnya. Aku tersentuh melihatnya. Dia begitu tegar dalam menjalani hidupnya yang sulit. Namun lihatlah aku, baru di cela sedikit saja aku sudah sangat jatuh, bagaimana nantinya?

“Kau itu mengarang cerita dengan mencontek kan? Dari film-film yang sering kau tonton.” Perkataan ibu benar-benar mengiris hatiku. Aku bersumpah, aku tidak pernah mencontek cerita-cerita orang lain. Aku selalu berusaha membuatnya berbeda. Aku tidak ingin karyaku di cap sebagai hasil contekan. Itu hasil pikiranku sendiri. Itu bukan hasil pikiran orang lain.

Air mataku langsung mengalir begitu saja. Di depan ayah, ibu, dan juga adikku. Aku benar-benar tidak terima semua perkataan ibuku selama ini. aku membencinya. Membenci ibuku sendiri. Karena perkataannya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘mulutmu adalah harimaumu’? karena dengan ucapan, nantinya ada banyak hal yang terjadi. Termasuk kebencian. “Aku bersumpah tidak pernah menyalin karangan siapapun!” bentakku kesal.

“Kalau kau tidak pernah menyalin, kenapa kau malah membentakku? Kau seharusnya bersikap wajar jika kau memang bukan seorang copycat! Kau menangis? Dasar cengeng.” Cibir ibu. Tidak kah dia berpikir bahwa menyakiti hati seorang anak adalah dosa? Tidak kah dia pernah berpikir betapa aku mencintai dunia menulis? Betapa aku mendambakan diriku untuk menjadi seorang penulis? Tidak kah dia berpikir? Aku lelah! Lelah memberitahunya tentang obsesiku ini. Ya, aku terobsesi! Terobsesi dengan dunia yang ku cintai. Dunia menulis.

Aku membanting pintu kamarku dan menangis di atas kasurku. Memeluk boneka jerapahku dan bercerita kepadanya. Kepada siapa aku harus bercerita? Sahabatku? Ya.. sahabatku. Ku putuskan untuk menelfon Amanda dan Rai, mungkin mereka dapat meringankan sedikit bebanku. Setidaknya untuk saat ini.


***


Zayn POV


“Zayn akan tetap tinggal bersamaku, Yaseer. Kau harus paham itu!” lagi-lagi yang ku dengar hanya suara teriakan ayah dan ibuku. Tidak bisakah mereka menghentikan semua ini? aku bukan bahan rebutan. Aku ada di dunia ini untuk mereka berdua, bukan untuk salah satu dari mereka. Aku benci kondisiku saat ini, situasiku saat ini. mengapa Tuhan membiarkanku seperti ini? mengapa?

Aku membanting pintu rumahku kasar. Berlari dari rumah memang bukan pilihan yang baik, namun daripada aku harus terus menerus mendengar pertengkaran mereka, lebih baik aku menghabiskan waktuku bersama Perrie di club malam itu. Malam? Ini bahkan masih terlalu siang untuk di sebut malam. Biarlah. Aku jenuh di rumah. Rumah terasa seperti neraka bagiku. Neraka!!!


~


Perri menari-nari di hadapanku. Badannya meliuk-liuk seiring dengan irama music yang di putar oleh DJ saat ini. Ku hisap batang rokok yang baru ku beli di supermarket tadi seraya memegangi pinggul Perrie yang terus menari di hadapanku.

“Zayn, come on, jangan diam saja. Menarilah denganku.” Perrie menegak minumannya dan terus menari. Aku merasa hina disini. Merasa berdosa. Tapi inilah jalan terbaik untuk melupakan semua masalahku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku tidak tahu. Yang ku tahu hanyalah bersenang-senang dapat melupakan masalahku. Tidak peduli nantinya bagaimana diriku.

Aku menari, mengikuti gerakan Perrie. Terkadang ia mencium bibirku. Aku tidak suka hal itu. Mulutnya bau alcohol dan dia menciumku, aku tidak ingin mencium baunya kecuali saat aku sama-sama mabuk.  

“Zayn, kau kenapa? Kenapa tidak membalas ciumanku?” tanya Perrie setelah ia melepas ciumannya kali ini.

Aku menatapnya gusar, “Sudahlah, menjauh dariku dulu, aku ingin sendiri.” Aku keluar dari club. Hari sudah gelap. Sudah berapa jam aku berada di dalam sana? Ku buang punting rokok yang tak terasa sudah habis saja. Aku berjalan tak tau arah. Tidak tahu harus apa dan tidak tahu harus kemana. Pulang? Uh, rasanya aku tidak pernah ingin mengunjungi rumah itu lagi.


***


Danisse POV

Amanda dan Rai memang membuatku sedikit lebih baik. Namun ternyata sahabatku yang lain tidak melakukan hal yang sama. Seorang sahabatku yang lainnya menganggapku orang gila yang terobsesi pada artis yang ku idolakan. Ya Allah, mengapa semuanya jadi seperti ini? Orang tua ku sama sekali tidak mendukung impianku, mereka malah mencemoohku. Sekarang sahabatku, orang yang paling ku percaya, justru membuatku meragukan persahabatan kami. Membuatku kesal dan tidak mengerti lagi arti dari ‘persahabatan’ itu sendiri. Seberapa jauh dia mengenal diriku? Mengapa ia tak juga mengerti aku? Kalau ia hanya bermaksud ‘bercanda’, tak bisa kah ia sedikit lebih baik dari itu?

Aku menundukkan kepalaku dan menangis di depan masjid yang berdiri gagah di kota Bradford, England. Ya Allah, mungkinkah aku tidak pantas untuk menjadi seorang penulis? Mungkinkah perkataan orang-orang itu benar? Bahwa aku hanya terus berkhayal dan berkhayal? Beri aku jawaban Ya Allah. Beri aku petunjuk.

“Hey.” seorang laki-laki bermata biru duduk di sampingku dengan kamera SLR yang tergantung di lehernya.

Aku menghapus air mataku dan tersenyum kepadanya, “Hey.” Ucapku dengan suara serak.

“Are you crying?” laki-laki itu menatap mataku dalam. Tangannya menjulur dan menghapus sebutir air mata yang tersisa di bawah pelupuk mataku. “What is happening?”

Aku menggeleng. Dia orang asing. Haruskah aku menceritakan ini kepadanya?


***


Niall POV

Gadis ini menangis. Padahal wajahnya pasti cantik saat ia tersenyum. Saat pertama kali melihat sinar matanya, aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Saat ini, kami berjalan di sepanjang pertokoan di kota Bradford. Ia menceritakan beberapa hal tentang kota Bradford –yang sebenarnya sudah ku ketahui.

“Aku lapar. Bisa temani aku makan siang?” tawarku saat kami berada di depan sebuah restaurant sepat saji.

Danisse mengangguk dan mengikuti langkahku untuk masuk ke dalam restaurant itu. Danisse tidak banyak bicara padaku, mungkin karena aku adalah orang asing baginya. Tidak apa-apa, ini baru hari pertama bertemu dengannya. Masih banyak waktu untuk mengenalnya. “Kau Christian kan? Mengapa kau bisa berada di masjid?” tanya Danisse saat kami tengah menunggu pesanan.

Ku pelihatkan kameraku padanya, “Untuk ini.” ujarku seraya tersenyum.

Danisse menatapi wajahku setelah melihat hasil potretku. Aku memang mengagumi bangunan-bangunan masjid yang ada di sekitar kota Bradford. Aku hanya menyimpannya sih. Aku juga memotret beberapa gereja besar di kota ini. “Kau fotografer?” tanyanya.

Aku mengangguk, “Ya, memotret merupakan hobbyku. Dan menjadi fotografer adalah cita-citaku.” Kataku dengan senyum. “bagaimana denganmu? Apa cita-citamu?”

Danisse mengalihkan pandangannya begitu pertanyaan itu meluncur dari bibirku. Ada perubahan pada mimik wajahnya, aku tahu ada sesuatu yang salah pada pertanyaanku. “Aku mencintai dunia menulis. Aku ingin menjadi penulis. Aku suka berkhayal. Mengkhayal itu mengasyikan. Tapi orang-orang di sekitarku tidak menyukainya.” Lirihnya terdengar sedikit bergetar, kemudian tangannya terangkat dan menghapus air matanya. Dia menangis lagi! Jadi karena hal ini dia menangis.


~~


“Ceritakanlah.” Ujarku saat melihat Danisse sudah lebih tenang.

Danisse menyeka air matanya dengan sapu tangan yang ku berikan, “Ibuku menganggapku seorang copycat, lalu ia juga tidak menyukai mimpiku untuk menjadi penulis. Dia tidak pernah tahu aku sedang berusaha. Sahabatku, mengatakan hal yang sangat menyakitkan tentang kebiasaan berkhayalku padahal saat itu aku sedang bercanda.” Katanya di sertai turunnya air mata.

Ku usap tangan mungil Danisse yang terletak di atas meja makan dengan lembut, “Aku tahu apa yang kau rasakan, Danisse. Ibuku juga dulu seperti itu, namun semua berubah ketika aku bisa membuktikan semua yang ku impikan. Kau harus membuktikan pada ibu dan juga teman-temanmu bahwa kau mampu menjadi penulis.”

Danisse menatapku sesaat kemudian tersenyum, “Terima kasih.” Katanya singkat. Ku lepas genggaman tanganku dan membalas senyumnya. Hatiku berdegup lebih kencang. Apakah aku jatuh cinta padanya? Tidak boleh. Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Dia berbeda denganku.


***


Danisse POV

Hari ini genap 10 hari aku dan Niall menjalin hubungan. Dia pria yang baik. Dia yang selalu menyemangatiku di saat aku terjatuh. Dia yang menjadi sapu tanganku saat aku menangis. Dia menumbuhkan cinta dalam waktu yang singkat. Tapi aku tahu, aku tak seharusnya jatuh cinta pada dirinya. Hari ini juga, ibuku memarahiku, menceramahiku, membuatku kesal dan sedih. Terkadang aku bertanya kepada Allah, mengapa ia sungguh tidak adil padaku? Ia buat hari-hariku terasa berat dan tidak berarti.

“Aku sendiri disini, Niall. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mengerti bagaimana diriku.” Tangisku pecah saat bertemu dengan Niall. Mengapa aku tidak dapat menyembunyikan ini di hadapannya? Mengapa dia dapat dengan mudah membuatku berterus terang padanya?

Niall mengelus pundakku, “Hey, masih ada Tuhan yang akan selalu berada di sampingmu, Danisse. Ia tidak akan membiarkanmu sendiri. Ia juga tidak akan membiarkanmu terluka. Ini semua hanya ujian hidup.” Rasanya Niall benar-benar laki-laki bijak. Laki-laki yang aku cari. Kenapa kau membiarkan aku mengenalnya, Ya Allah? Kalau pada akhirnya aku tahu aku akan jatuh cinta kepadanya, lebih baik aku tidak akan mengenalnya.

Aku menatap Niall lebih dalam dan tersenyum, “Kau teman yang baik untukku, Niall.” Ku benamkan wajahku di dada bidang Niall. Membiarkan Niall mengelus rambutku pelan. Aku menyayanginya Ya Allah, biarkan rasa ini tumbuh.


~~


Ya Allah, aku berdoa dan meminta kepadamu untuk kehidupanku. Aku yakin jika tidak ada lagi yang mengerti diriku di dunia ini, aku yakin kau mengerti. Bahkan mungkin kaulah satu-satunya orang yang mengerti bagaimana diriku. Ya Allah, mengapa kau mengujiku seperti ini? aku ingin sukses sebagai penulis, namun mengapa semua orang yang ku sayangi tidak mendukungku? Aku benci hidup seperti ini Ya Allah. Kalau tidak ada yang berdiri di sampingku dan membimbingku untuk menggapai cita-citaku, aku yakin kau akan terus disini bersamaku. Aku yakin itu, Ya Allah. Bimbing aku Ya Allah, bantu aku dalam mewujudkan mimpiku. Aamiin.

Ku usap wajahku yang sudah basah. Baru kali ini aku menangis saat membaca Al-Qur’an. Mungkin sudah terlalu banyak dosa yang ku perbuat. Selesai sholat, aku berencana untuk pergi menemui Niall di cafe yang biasa ia kunjungi. Ku harap ia ada disana. Aku ingin mengucapkan terima kasih karena ia telah menyadarkanku bahwa masih ada Allah, Tuhanku, disampingku. Dia adalah cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti kehidupanku.


~~


Harapanku pupus. Niall tidak ada disini. Ponselnya tidak aktif. Aku bertanya pada resepsionis di hotel tempatnya menginap, katanya ia sudah check out sejak beberapa jam yang lalu. Niall pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Kenapa dia jahat padaku? Apa karena perbedaan diantara kami?


***

Niall POV

Maafkan aku, Danisse. Aku tidak bermaksud melukaimu. Aku hanya tidak ingin kau semakin jatuh cinta kepadaku seperti aku jatuh cinta kepadamu. Kita berbeda. Kita tidak akan pernah mungkin bersama. Aku mencintaimu, Danisse. Kau harus tahu bahwa kau berarti untukku, meski kau merasa tidak pernah berarti untuk siapapun. Kau hebat bagiku. Kau sempurna Danisse. Selamat tinggal.

Pesawat ini sudah membawa tubuhku terbang menuju tanah kelahiranku, Irlandia. Tapi hati dan jiwaku masih tertinggal di Bradford. Terbawa bersama seorang gadis bermata bulat itu. Aku tahu aku tidak mungkin bersamanya, maka dari itu aku meninggalkannya. Setidaknya aku sudah membuatnya menyadari bahwa ia tidak sendiri. Ada Tuhan yang selalu bersamanya. Ku tatapi lagi gantungan kunci jerapah yang ia berikan. Akan ku simpan benda ini sebagai kenang-kenangan. Maafkan aku, Danisse.


***


Zayn POV


Lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol diriku. Aku mabuk berat dan mengendarai motorku secara ugal-ugalan. Orang tuaku bertengkar lagi. Mereka benar-benar membuatku gila. Aku bukan barang, kenapa mereka tidak kembali saja? Aku bosan dengan keadaan seperti ini! aku bosan!!!

“Hey!!!” aku mendengar teriakan seorang wanita saat motorku tiba-tiba oleng dan jatuh. Aku merasa tubuhku benar-benar ringan. “Hey, are you okay?” ku dengar sapaan seorang wanita sebelum mataku benar-benar tertutup.

~

Sebuah tangan menyentuh lebut dahiku yang terasa sakit. Ia menempelkan benda dingin di atasnya. Ah, dia pasti mengompresku.

“Apa kau sudah sadar?” tanyanya.

Aku membuka sedikit mataku. Seorang wanita berambut hitam tersenyum di hadapanku, ia membantuku duduk dan memberiku minuman. Benar-benar wanita baik hati. Dia berbeda sekali dengan Perrie. “Terima kasih.”

“Aku menemukanmu di pinggir jalan saat hendak pulang. Karena khawatir tentang keadaanmu, aku membawamu kemari.” Katanya lembut. “Dimana rumahmu?” tanyanya.

“Aku tidak punya rumah.” Jawabku ketus. Aku memang tidak punya rumah lagi sekarang. Rumahku bagaikan neraka. Penuh dengan teriakan dan kata-kata kasar yang keluar dari mulut ayah dan ibuku.

Gadis itu menatapku dengan lembut, “Orang tuamu pasti khawatir.”

Aku mendesah pelan, “Mereka khawatir? Justru mereka lah yang membuatku seperti ini. aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini. aku sendirian. Tidak ada yang mengerti aku!” bentakku secara tidak terkontrol. Aku benar-benar tidak terkontrol saat ini.

“Seseorang mengajarkanku bahwa aku tidak pernah sendirian. Aku punya Tuhan yang selalu ada bersamaku. Apa kau seorang muslim?” tanyanya baik-baik.

Allah, Tuhanku. Sudah berapa lama aku melupakannya? Sudah berapa lama aku meninggalkannya? Masih pantas kah aku meminta ampunan kepadanya? Masih pantas kah aku menghadapnya? Ya Allah, seberapa banyak dosa yang telah ku ukir dalam hidupku.

“Kau muslim?” tanya gadis itu lagi. Aku melamun rupanya.

Aku menatapnya ragu. Aku bahkan tidak pantas di sebut muslim. Aku terlalu penuh dengan dosa. Tubuhku kotor. Aku telah banyak melanggar syariat islam. “Y-a-a.” Jawabku pelan.

Gadis itu tersenyum, “Sudah saatnya sholat subuh. Bagaimana kalau kita sholat berjamaah?”


~~


Ya Allah, maafkan aku. Maafkan seluruh kesalahanku. Aku meminta kesempatan sekali lagi kepada dirimu. Aku ingin memperbaiki segalanya. Kau selalu ada di sampingku ketika aku terjatuh, kau mampu membuatku tenang. Mengapa aku baru menyadarinya Ya Allah? Kemana aku selama ini? aku meninggalkanmu, tapi kau masih mau menerima kehadiranku di hadapanmu. Aku mencintaimu dengan seluruh hidupku.

Perlahan ku usap wajahku. Danisse, gadis yang menolongku, tersenyum padaku setelah kami melaksanakan sholat subuh bersama. Danisse adalah malaikat untukku. Dia yang telah menyadarkanku bahwa Allah selalu berada disisiku meski aku meninggalkannya. Danisse, kau bidadari dalam hidupku.

“Terima kasih.” Danisse seperti tersadar dari lamunan saat aku berterima kasih kepadanya. Senyum manisnya kembali terlukis di wajahnya. Ia terlihat sangat cantik jika tersenyum, membuat hatiku berdegup sangat cepat. Aku jatuh cinta padanya.


***


Beberapa tahun kemudian...


Danisse POV


Allah mengabulkan semua doa-doaku. Aku sudah membuktikan kepada semua orang bahwa aku mampu menggapai mimpiku. Buku karanganku yang berjudul ‘LIGHT ON THE DARKNESS’ terpajang di setiap rak di toko buku di seluruh dunia. Aku bahagia. Ibu tidak lagi meremehkanku, sahabatku juga menyesal telah mengataiku waktu itu. Dan yang terpenting, aku telah memiliki pelindung dan juga cahaya bagi kehidupanku, Zayn Malik, suamiku. Sejak pertemuan kami malam itu, Zayn terus mendekatiku sampai akhirnya ia melamarku. Sekarang aku mengerti, roda kehidupan akan selalu berputar. Saat aku berada di bawah, Allah tidak pernah meninggalkanku. Ia memberiku Niall yang menyemangatiku, dan menyadarkanku bahwa masih ada Allah di sampingku. Dan saat ini, ketika aku menggapai kesuksesan ini, Allah memberikan Zayn di sampingku. Aku bahagia. Terima kasih Ya Allah. Sesungguhnya engkau yang Maha Pemberi.


***


Zayn POV

Bidadariku tersenyum lembut kepadaku. Ia memelukku begitu keluar dari dalam ruangan dokter. “Aku hamil.” Bisiknya senang. Aku bahagia. Allah memberiku kebahagiaan ini. Ia memberiku bidadari yang akan selalu ada di sampingku, yang akan selalu menyemangati saat aku lelah. Orang tuaku tidak lagi bertengkar semenjak aku berbicara yang sesungguhnya pada mereka. Semua ini berkat Danisse, bidadariku, penerang dalam kegelapan yang menyelimuti kehidupanku.


***


Niall POV

Aku melihatnya. Danisse sudah bahagia bersama laki-laki yang kini menjadi suaminya. Ia sudah berhasil menggapai impiannya. Setidaknya, aku bahagia melihat ia bahagia. Meski sebagian kecil dari hatiku masih mencintainya.

“Niall, kau melihat apa? Ayo kita ke gereja.” Demi Lovato, gadis cantik yang kini sudah memiliki sebagian besar dari hatiku. Ia adalah istriku. Ibu dari anakku, Charice Horan. Ia menarik tanganku menuju gereja, mengajakku berdoa kepada Tuhan untuk kehidupan kami yang lebih baik lagi nantinya. Aku bahagia memiliki Demi, dialah malaikatku sekarang.


***


“Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umatnya, sekalipun umatnya meninggalkannya. Tuhan akan selalu ada disana, menemani umatnya dengan setia.” – Nadhira Ramadhani.

“Jika tidak ada lagi yang mengerti diriku, aku yakin hanya dirimulah yang masih mengerti aku, Tuhan. Jika tidak ada lagi yang mampu mendengarku, aku yakin kau masih setia berada disana untuk mendengarku berkeluh kesah. Sesungguhnya engkau Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” – Nadhira Ramadhani.

“Aku akan membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa. Bahwa aku sanggup meraih harapanku.” – Nadhira Ramadhani.

“Aku memang bukan yang terbaik, aku hanya berusaha untuk menjadi lebih baik dari ini.” – Nadhira Ramadhani.

“Aku percaya bahwa Tuhan akan memberikan kebahagiaan untukku suatu saat nanti. Karena sesungguhnya roda kehidupan akan terus berputar.” – Nadhira Ramadhani.

THE END

No comments:

Post a Comment