Terima
kasih karena kau telah membuatku sadar bahwa aku tidak pernah sendiri di dunia
ini. kau berarti untukku. Kita berbeda, kita tak bisa bersama, tapi kau adalah
teman terbaikku. Dan terima kasih Ya Allah, kau telah mengirimkan satu orang
makhlukmu untuk melindungi setiap langkahku. Aku mencintainya. – Danisse Ramunoff
Kau
adalah malaikatku. Kau menyadarkanku bahwa Allah selalu ada di sampingku, meski
aku meninggalkannya. Kau menyadariku bahwa aku tidak pernah sendiri di dunia
ini, masih ada Allah. Masih ada Tuhan yang menemaniku. Kau membuatku jatuh
cinta kepadamu, bidadariku.– Zayn Malik
Kita
berbeda. Kita sama sekali tidak bisa bersama. Menjadi teman dekatmu adalah
sebuah kebahagiaan untukku. Kau berarti. Lebih dari yang kau tahu. Tugasku
sudah selesai. Aku harus pergi. Maafkan aku, aku mencintaimu. – Niall Horan
***
Danisse
POV
Ya Allah, harus kemana lagi aku
mengadu selain kepadamu? Harus bagaimana aku menyikapi semua ini? Ya Allah,
jika tidak ada lagi di dunia ini yang mampu mengerti diriku, aku yakin hanya
dirimu yang dapat mengerti aku. Karena kau maha mendengar, kau maha melihat. Kau
tahu apa isi hatiku, Ya Allah. Ya Allah, aku tersesat dalam kesendirian. Aku tidak
tahu harus kepada siapa aku berkeluh kesah selain kepada dirimu.
Mimpi. Aku memiliki banyak mimpi.
Salah satunya adalah menjadi penulis terkenal, memiliki banyak buku yang ku
karang sendiri, lalu setelah itu aku akan menjadi penulis yang berhasil. Tapi
bagaimana rasanya jika semua impianmu tidak mendapatkan dukungan dari siapapun
yang ada di dekatmu? Bagaimana rasanya jika tidak ada yang dapat mengerti apa
keinginanmu sebenarnya? Bagaimana jika orang-orang yang kamu sayangi justru
hanya dapat menuduhmu, meremehkanmu? Rasanya menyakitkan. Aku seperti berjalan
seorang diri di atas semua mimpi-mimpiku yang tersusun rapih. Aku sakit, namun
tidak ada yang dapat menyembuhkanku bahkan mengobatinya. Aku tidak tahu harus
bagaimana lagi. Dan di saat aku merasakan semua ini, aku menemukan Allah yang
selalu ada di sampingku. Mendengar keluh kesahku, mengerti bagaimana diriku,
dan membantuku mewujudkan semua mimpi dan impianku. Juga mengirimkan seorang
malaikatnya untukku.
***
Zayn
POV
Aku keluar dari club malam itu
dan berjalan sempoyongan dengan memegang erat kepalaku yang terasa amat berat.
Semua masalah yang ku alami membuatku gila. Orang tuaku yang selalu
memperebutkan hak asuhku, teman-temanku yang selalu menjudgeku ini dan itu,
serta lingkunganku yang seakan mengejek karena perbedaanku. Semua membuatku
tidak bisa bertahan di atas bumi ini. sedangkan bumi terus berputar, aku hanya
seorang diri disini. Tidak memiliki siapapun yang dapat mengerti diriku. Aku
bahkan tidak dapat menemukan cahaya di tengah teriknya sinar matahari. Aku
berada di dalam kegelapan, dimana tidak ada satu pun orang yang mampu
melepaskanku dari cengkraman setan-setan di bumi ini. Masalahku justru membuatku
semakin menjadi iblis. Aku mabuk, bermain dengan wanita, mencaci maki banyak
orang, bahkan melecehkan orang-orang yang tidak bersalah. Aku berdosa. Tuhan...
masih pantaskah aku meminta maafmu?
***
Niall
POV
Aku berjalan dengan sebuah kamera
SLR di tanganku. Memotret adalah salah satu hobby baruku selain menyanyi. Aku
berdiri di depan sebuah bangunan megah yang ku kagumi, masjid. Tempat beribadah
umat muslim. Aku tersenyum kemudian memotret beberapa bagian depan masjid yang
gaya arsitekturnya benar-benar hebat.
“Hello, good afternoon.” Seorang
anak laki-laki kecil menyapaku dengan senyum manisnya. Aku hanya bisa membalas
senyumannya. Anak laki-laki ini mengenakan pakaian muslimnya. Ia terlihat
tampan. “are you a tourist?” tanyanya ramah.
Aku berjongkok, menyamakan
tinggiku dengan tingginya, “Hmm.” Gumamku sembari mengangguk. “Im Niall. Come
from Mullingar, Ireland.” Jawabku.
“Wah, nice to meet you. Are you
muslim?” tanyanya lagi. Matanya berbinar menatapku.
Aku tersenyum lagi, “No, im
Christian.” Jawabku dengan gelengan kepala.
“oh sorry. By the way, ini sudah
waktunya sholat dzuhur. Aku pergi dulu. Bye. See you.” Anak itu berlari
menjauhiku dan segera masuk ke dalam masjid itu dengan semangatnya. Aku jadi
ingat saat dulu ibu menyuruhku pergi ke gereja untuk beribadah. Aku begitu
malas karena harus bangun pagi. Namun sekarang, saat aku sudah sedewasa ini,
aku mengerti bahwa beribadah itu adalah kewajiban. Apapun agamanya, apapun
keyakinannya, dan siapapun Tuhannya, beribadah tetap diharuskan.
***
Danisse
POV
Aku baru saja melipat mukenaku
dan menyimpannya di atas meja begitu mendengar percakapan ibuku dengan saudara
sepupuku, Ahmed. Aku menempelkan kupingku di pintu untuk memperjelas suaranya.
Bukan maksudku untuk menguping, namun ibu menyebut-nyebut namaku tadi. Dan aku
paling tidak suka di bicarakan oleh ibuku sendiri.
“Dani itu selalu saja berkutik
dengan laptopnya. Berurusan dengan cerita-cerita bodoh dan semua khayalannya
yang tidak pernah menjadi kenyataan.” Kata ibuku sinis. Aku tahu ibu tidak suka
aku bercita-cita menjadi penulis. Begitu juga dengan ayahku. Saat tahu bahwa
mereka sama sekali tidak menyukainya, aku merasa hatiku teriris. Ini impianku,
seharusnya mereka mendukungku bukan mencelaku.
Ku dengar Ahmed tertawa di luar
sana, “Danisse itu. Dia pikir menjadi penulis itu mudah? Hahaha.” Aku sangat
yakin di luar sana Ahmed sedang tersenyum miring. Seperti meremehkan. Aku bisa,
aku bisa menjadi penulis. Memang seburuk itu kah aku sehingga kalian
meremehkanku? Aku mampu dan akan ku buktikan itu suatu saat nanti.
Tubuhku merosot. Tidak tahan
mendengar celaan ibu dan Ahmed. Memangnya seburuk itukah hasil karyaku?
Memangnya sedosa itukah bermimpi? Mengapa semua orang tidak mengerti bagaimana
diriku? Mereka hanya bisa mencaciku, mencelaku, tanpa mau tahu bagaimana hasil
karyaku terlebih dulu. Aku benci mereka. Aku benci! Tidak ada yang mengerti
diriku. Aku benci!
Ku tenggelamkan wajahku di antara
kedua kakiku yang ku tekuk. Menangis sepuas-puasnya karena ibu tidak pernah
mengerti bagaimana perasaanku. Ia melukai hatiku. Menjadi penulis adalah impian
terbesarku. Sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah menyukai dunia
ini. Saat aku sudah mulai mengasah bakatku, ibu justru meremehkanku.
Menjatuhkanku ke dasar tebing yang paling dalam. Aku tidak mendapat kepercayaan
dari siapapun. Apakah aku tidak mampu menjadi penulis?
~~
Letters To God. Cerita mengenai
seorang anak pengidap penyakit kanker yang terus mempercayai bahwa Tuhan selalu
ada di sampingnya. Ia juga menuliskan surat-surat untuk Tuhan, berharap Tuhan
akan membaca bahkan membalasnya. Aku tersentuh melihatnya. Dia begitu tegar
dalam menjalani hidupnya yang sulit. Namun lihatlah aku, baru di cela sedikit
saja aku sudah sangat jatuh, bagaimana nantinya?
“Kau itu mengarang cerita dengan
mencontek kan? Dari film-film yang sering kau tonton.” Perkataan ibu
benar-benar mengiris hatiku. Aku bersumpah, aku tidak pernah mencontek
cerita-cerita orang lain. Aku selalu berusaha membuatnya berbeda. Aku tidak
ingin karyaku di cap sebagai hasil contekan. Itu hasil pikiranku sendiri. Itu
bukan hasil pikiran orang lain.
Air mataku langsung mengalir
begitu saja. Di depan ayah, ibu, dan juga adikku. Aku benar-benar tidak terima
semua perkataan ibuku selama ini. aku membencinya. Membenci ibuku sendiri.
Karena perkataannya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa ‘mulutmu adalah
harimaumu’? karena dengan ucapan, nantinya ada banyak hal yang terjadi.
Termasuk kebencian. “Aku bersumpah tidak pernah menyalin karangan siapapun!”
bentakku kesal.
“Kalau kau tidak pernah menyalin,
kenapa kau malah membentakku? Kau seharusnya bersikap wajar jika kau memang
bukan seorang copycat! Kau menangis? Dasar cengeng.” Cibir ibu. Tidak kah dia
berpikir bahwa menyakiti hati seorang anak adalah dosa? Tidak kah dia pernah
berpikir betapa aku mencintai dunia menulis? Betapa aku mendambakan diriku
untuk menjadi seorang penulis? Tidak kah dia berpikir? Aku lelah! Lelah
memberitahunya tentang obsesiku ini. Ya, aku terobsesi! Terobsesi dengan dunia
yang ku cintai. Dunia menulis.
Aku membanting pintu kamarku dan
menangis di atas kasurku. Memeluk boneka jerapahku dan bercerita kepadanya.
Kepada siapa aku harus bercerita? Sahabatku? Ya.. sahabatku. Ku putuskan untuk
menelfon Amanda dan Rai, mungkin mereka dapat meringankan sedikit bebanku.
Setidaknya untuk saat ini.
***
Zayn
POV
“Zayn akan tetap tinggal
bersamaku, Yaseer. Kau harus paham itu!” lagi-lagi yang ku dengar hanya suara
teriakan ayah dan ibuku. Tidak bisakah mereka menghentikan semua ini? aku bukan
bahan rebutan. Aku ada di dunia ini untuk mereka berdua, bukan untuk salah satu
dari mereka. Aku benci kondisiku saat ini, situasiku saat ini. mengapa Tuhan
membiarkanku seperti ini? mengapa?
Aku membanting pintu rumahku
kasar. Berlari dari rumah memang bukan pilihan yang baik, namun daripada aku
harus terus menerus mendengar pertengkaran mereka, lebih baik aku menghabiskan
waktuku bersama Perrie di club malam itu. Malam? Ini bahkan masih terlalu siang
untuk di sebut malam. Biarlah. Aku jenuh di rumah. Rumah terasa seperti neraka
bagiku. Neraka!!!
~
Perri menari-nari di hadapanku.
Badannya meliuk-liuk seiring dengan irama music yang di putar oleh DJ saat ini.
Ku hisap batang rokok yang baru ku beli di supermarket tadi seraya memegangi
pinggul Perrie yang terus menari di hadapanku.
“Zayn, come on, jangan diam saja.
Menarilah denganku.” Perrie menegak minumannya dan terus menari. Aku merasa
hina disini. Merasa berdosa. Tapi inilah jalan terbaik untuk melupakan semua
masalahku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku tidak tahu. Yang ku tahu
hanyalah bersenang-senang dapat melupakan masalahku. Tidak peduli nantinya
bagaimana diriku.
Aku menari, mengikuti gerakan
Perrie. Terkadang ia mencium bibirku. Aku tidak suka hal itu. Mulutnya bau
alcohol dan dia menciumku, aku tidak ingin mencium baunya kecuali saat aku
sama-sama mabuk.
“Zayn, kau kenapa? Kenapa tidak
membalas ciumanku?” tanya Perrie setelah ia melepas ciumannya kali ini.
Aku menatapnya gusar, “Sudahlah,
menjauh dariku dulu, aku ingin sendiri.” Aku keluar dari club. Hari sudah
gelap. Sudah berapa jam aku berada di dalam sana? Ku buang punting rokok yang
tak terasa sudah habis saja. Aku berjalan tak tau arah. Tidak tahu harus apa
dan tidak tahu harus kemana. Pulang? Uh, rasanya aku tidak pernah ingin
mengunjungi rumah itu lagi.
***
Danisse
POV
Amanda dan Rai memang membuatku
sedikit lebih baik. Namun ternyata sahabatku yang lain tidak melakukan hal yang
sama. Seorang sahabatku yang lainnya menganggapku orang gila yang terobsesi
pada artis yang ku idolakan. Ya Allah, mengapa semuanya jadi seperti ini? Orang
tua ku sama sekali tidak mendukung impianku, mereka malah mencemoohku. Sekarang
sahabatku, orang yang paling ku percaya, justru membuatku meragukan
persahabatan kami. Membuatku kesal dan tidak mengerti lagi arti dari
‘persahabatan’ itu sendiri. Seberapa jauh dia mengenal diriku? Mengapa ia tak
juga mengerti aku? Kalau ia hanya bermaksud ‘bercanda’, tak bisa kah ia sedikit
lebih baik dari itu?
Aku menundukkan kepalaku dan
menangis di depan masjid yang berdiri gagah di kota Bradford, England. Ya
Allah, mungkinkah aku tidak pantas untuk menjadi seorang penulis? Mungkinkah
perkataan orang-orang itu benar? Bahwa aku hanya terus berkhayal dan berkhayal?
Beri aku jawaban Ya Allah. Beri aku petunjuk.
“Hey.” seorang laki-laki bermata
biru duduk di sampingku dengan kamera SLR yang tergantung di lehernya.
Aku menghapus air mataku dan
tersenyum kepadanya, “Hey.” Ucapku dengan suara serak.
“Are you crying?” laki-laki itu
menatap mataku dalam. Tangannya menjulur dan menghapus sebutir air mata yang
tersisa di bawah pelupuk mataku. “What is happening?”
Aku menggeleng. Dia orang asing.
Haruskah aku menceritakan ini kepadanya?
***
Niall
POV
Gadis ini menangis. Padahal
wajahnya pasti cantik saat ia tersenyum. Saat pertama kali melihat sinar
matanya, aku jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Saat ini, kami berjalan
di sepanjang pertokoan di kota Bradford. Ia menceritakan beberapa hal tentang
kota Bradford –yang sebenarnya sudah ku ketahui.
“Aku lapar. Bisa temani aku makan
siang?” tawarku saat kami berada di depan sebuah restaurant sepat saji.
Danisse mengangguk dan mengikuti
langkahku untuk masuk ke dalam restaurant itu. Danisse tidak banyak bicara
padaku, mungkin karena aku adalah orang asing baginya. Tidak apa-apa, ini baru
hari pertama bertemu dengannya. Masih banyak waktu untuk mengenalnya. “Kau
Christian kan? Mengapa kau bisa berada di masjid?” tanya Danisse saat kami
tengah menunggu pesanan.
Ku pelihatkan kameraku padanya,
“Untuk ini.” ujarku seraya tersenyum.
Danisse menatapi wajahku setelah
melihat hasil potretku. Aku memang mengagumi bangunan-bangunan masjid yang ada
di sekitar kota Bradford. Aku hanya menyimpannya sih. Aku juga memotret
beberapa gereja besar di kota ini. “Kau fotografer?” tanyanya.
Aku mengangguk, “Ya, memotret
merupakan hobbyku. Dan menjadi fotografer adalah cita-citaku.” Kataku dengan
senyum. “bagaimana denganmu? Apa cita-citamu?”
Danisse mengalihkan pandangannya
begitu pertanyaan itu meluncur dari bibirku. Ada perubahan pada mimik wajahnya,
aku tahu ada sesuatu yang salah pada pertanyaanku. “Aku mencintai dunia
menulis. Aku ingin menjadi penulis. Aku suka berkhayal. Mengkhayal itu
mengasyikan. Tapi orang-orang di sekitarku tidak menyukainya.” Lirihnya terdengar
sedikit bergetar, kemudian tangannya terangkat dan menghapus air matanya. Dia
menangis lagi! Jadi karena hal ini dia menangis.
~~
“Ceritakanlah.” Ujarku saat
melihat Danisse sudah lebih tenang.
Danisse menyeka air matanya
dengan sapu tangan yang ku berikan, “Ibuku menganggapku seorang copycat, lalu
ia juga tidak menyukai mimpiku untuk menjadi penulis. Dia tidak pernah tahu aku
sedang berusaha. Sahabatku, mengatakan hal yang sangat menyakitkan tentang
kebiasaan berkhayalku padahal saat itu aku sedang bercanda.” Katanya di sertai
turunnya air mata.
Ku usap tangan mungil Danisse
yang terletak di atas meja makan dengan lembut, “Aku tahu apa yang kau rasakan,
Danisse. Ibuku juga dulu seperti itu, namun semua berubah ketika aku bisa
membuktikan semua yang ku impikan. Kau harus membuktikan pada ibu dan juga
teman-temanmu bahwa kau mampu menjadi penulis.”
Danisse menatapku sesaat kemudian
tersenyum, “Terima kasih.” Katanya singkat. Ku lepas genggaman tanganku dan
membalas senyumnya. Hatiku berdegup lebih kencang. Apakah aku jatuh cinta
padanya? Tidak boleh. Aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Dia berbeda
denganku.
***
Danisse
POV
Hari ini genap 10 hari aku dan
Niall menjalin hubungan. Dia pria yang baik. Dia yang selalu menyemangatiku di
saat aku terjatuh. Dia yang menjadi sapu tanganku saat aku menangis. Dia
menumbuhkan cinta dalam waktu yang singkat. Tapi aku tahu, aku tak seharusnya
jatuh cinta pada dirinya. Hari ini juga, ibuku memarahiku, menceramahiku,
membuatku kesal dan sedih. Terkadang aku bertanya kepada Allah, mengapa ia
sungguh tidak adil padaku? Ia buat hari-hariku terasa berat dan tidak berarti.
“Aku sendiri disini, Niall. Tidak
ada yang peduli. Tidak ada yang mengerti bagaimana diriku.” Tangisku pecah saat
bertemu dengan Niall. Mengapa aku tidak dapat menyembunyikan ini di hadapannya?
Mengapa dia dapat dengan mudah membuatku berterus terang padanya?
Niall mengelus pundakku, “Hey,
masih ada Tuhan yang akan selalu berada di sampingmu, Danisse. Ia tidak akan
membiarkanmu sendiri. Ia juga tidak akan membiarkanmu terluka. Ini semua hanya
ujian hidup.” Rasanya Niall benar-benar laki-laki bijak. Laki-laki yang aku
cari. Kenapa kau membiarkan aku mengenalnya, Ya Allah? Kalau pada akhirnya aku
tahu aku akan jatuh cinta kepadanya, lebih baik aku tidak akan mengenalnya.
Aku menatap Niall lebih dalam dan
tersenyum, “Kau teman yang baik untukku, Niall.” Ku benamkan wajahku di dada
bidang Niall. Membiarkan Niall mengelus rambutku pelan. Aku menyayanginya Ya
Allah, biarkan rasa ini tumbuh.
~~
Ya Allah, aku berdoa dan meminta
kepadamu untuk kehidupanku. Aku yakin jika tidak ada lagi yang mengerti diriku
di dunia ini, aku yakin kau mengerti. Bahkan mungkin kaulah satu-satunya orang
yang mengerti bagaimana diriku. Ya Allah, mengapa kau mengujiku seperti ini?
aku ingin sukses sebagai penulis, namun mengapa semua orang yang ku sayangi
tidak mendukungku? Aku benci hidup seperti ini Ya Allah. Kalau tidak ada yang
berdiri di sampingku dan membimbingku untuk menggapai cita-citaku, aku yakin
kau akan terus disini bersamaku. Aku yakin itu, Ya Allah. Bimbing aku Ya Allah,
bantu aku dalam mewujudkan mimpiku. Aamiin.
Ku usap wajahku yang sudah basah.
Baru kali ini aku menangis saat membaca Al-Qur’an. Mungkin sudah terlalu banyak
dosa yang ku perbuat. Selesai sholat, aku berencana untuk pergi menemui Niall
di cafe yang biasa ia kunjungi. Ku harap ia ada disana. Aku ingin mengucapkan
terima kasih karena ia telah menyadarkanku bahwa masih ada Allah, Tuhanku,
disampingku. Dia adalah cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti kehidupanku.
~~
Harapanku pupus. Niall tidak ada
disini. Ponselnya tidak aktif. Aku bertanya pada resepsionis di hotel tempatnya
menginap, katanya ia sudah check out sejak beberapa jam yang lalu. Niall pergi
tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Kenapa dia jahat padaku? Apa karena
perbedaan diantara kami?
***
Niall
POV
Maafkan aku, Danisse. Aku tidak
bermaksud melukaimu. Aku hanya tidak ingin kau semakin jatuh cinta kepadaku
seperti aku jatuh cinta kepadamu. Kita berbeda. Kita tidak akan pernah mungkin
bersama. Aku mencintaimu, Danisse. Kau harus tahu bahwa kau berarti untukku,
meski kau merasa tidak pernah berarti untuk siapapun. Kau hebat bagiku. Kau
sempurna Danisse. Selamat tinggal.
Pesawat ini sudah membawa tubuhku
terbang menuju tanah kelahiranku, Irlandia. Tapi hati dan jiwaku masih
tertinggal di Bradford. Terbawa bersama seorang gadis bermata bulat itu. Aku
tahu aku tidak mungkin bersamanya, maka dari itu aku meninggalkannya.
Setidaknya aku sudah membuatnya menyadari bahwa ia tidak sendiri. Ada Tuhan
yang selalu bersamanya. Ku tatapi lagi gantungan kunci jerapah yang ia berikan.
Akan ku simpan benda ini sebagai kenang-kenangan. Maafkan aku, Danisse.
***
Zayn
POV
Lagi-lagi aku tidak bisa
mengontrol diriku. Aku mabuk berat dan mengendarai motorku secara ugal-ugalan.
Orang tuaku bertengkar lagi. Mereka benar-benar membuatku gila. Aku bukan
barang, kenapa mereka tidak kembali saja? Aku bosan dengan keadaan seperti ini!
aku bosan!!!
“Hey!!!” aku mendengar teriakan
seorang wanita saat motorku tiba-tiba oleng dan jatuh. Aku merasa tubuhku
benar-benar ringan. “Hey, are you okay?” ku dengar sapaan seorang wanita
sebelum mataku benar-benar tertutup.
~
Sebuah tangan menyentuh lebut
dahiku yang terasa sakit. Ia menempelkan benda dingin di atasnya. Ah, dia pasti
mengompresku.
“Apa kau sudah sadar?” tanyanya.
Aku membuka sedikit mataku.
Seorang wanita berambut hitam tersenyum di hadapanku, ia membantuku duduk dan
memberiku minuman. Benar-benar wanita baik hati. Dia berbeda sekali dengan
Perrie. “Terima kasih.”
“Aku menemukanmu di pinggir jalan
saat hendak pulang. Karena khawatir tentang keadaanmu, aku membawamu kemari.”
Katanya lembut. “Dimana rumahmu?” tanyanya.
“Aku tidak punya rumah.” Jawabku
ketus. Aku memang tidak punya rumah lagi sekarang. Rumahku bagaikan neraka.
Penuh dengan teriakan dan kata-kata kasar yang keluar dari mulut ayah dan
ibuku.
Gadis itu menatapku dengan
lembut, “Orang tuamu pasti khawatir.”
Aku mendesah pelan, “Mereka
khawatir? Justru mereka lah yang membuatku seperti ini. aku tidak punya
siapa-siapa di dunia ini. aku sendirian. Tidak ada yang mengerti aku!” bentakku
secara tidak terkontrol. Aku benar-benar tidak terkontrol saat ini.
“Seseorang mengajarkanku bahwa
aku tidak pernah sendirian. Aku punya Tuhan yang selalu ada bersamaku. Apa kau
seorang muslim?” tanyanya baik-baik.
Allah, Tuhanku. Sudah berapa lama
aku melupakannya? Sudah berapa lama aku meninggalkannya? Masih pantas kah aku
meminta ampunan kepadanya? Masih pantas kah aku menghadapnya? Ya Allah, seberapa
banyak dosa yang telah ku ukir dalam hidupku.
“Kau muslim?” tanya gadis itu
lagi. Aku melamun rupanya.
Aku menatapnya ragu. Aku bahkan
tidak pantas di sebut muslim. Aku terlalu penuh dengan dosa. Tubuhku kotor. Aku
telah banyak melanggar syariat islam. “Y-a-a.” Jawabku pelan.
Gadis itu tersenyum, “Sudah
saatnya sholat subuh. Bagaimana kalau kita sholat berjamaah?”
~~
Ya Allah, maafkan aku. Maafkan
seluruh kesalahanku. Aku meminta kesempatan sekali lagi kepada dirimu. Aku
ingin memperbaiki segalanya. Kau selalu ada di sampingku ketika aku terjatuh,
kau mampu membuatku tenang. Mengapa aku baru menyadarinya Ya Allah? Kemana aku
selama ini? aku meninggalkanmu, tapi kau masih mau menerima kehadiranku di
hadapanmu. Aku mencintaimu dengan seluruh hidupku.
Perlahan ku usap wajahku.
Danisse, gadis yang menolongku, tersenyum padaku setelah kami melaksanakan
sholat subuh bersama. Danisse adalah malaikat untukku. Dia yang telah
menyadarkanku bahwa Allah selalu berada disisiku meski aku meninggalkannya. Danisse,
kau bidadari dalam hidupku.
“Terima kasih.” Danisse seperti
tersadar dari lamunan saat aku berterima kasih kepadanya. Senyum manisnya
kembali terlukis di wajahnya. Ia terlihat sangat cantik jika tersenyum, membuat
hatiku berdegup sangat cepat. Aku jatuh cinta padanya.
***
Beberapa
tahun kemudian...
Danisse
POV
Allah mengabulkan semua
doa-doaku. Aku sudah membuktikan kepada semua orang bahwa aku mampu menggapai
mimpiku. Buku karanganku yang berjudul ‘LIGHT ON THE DARKNESS’ terpajang di
setiap rak di toko buku di seluruh dunia. Aku bahagia. Ibu tidak lagi
meremehkanku, sahabatku juga menyesal telah mengataiku waktu itu. Dan yang
terpenting, aku telah memiliki pelindung dan juga cahaya bagi kehidupanku, Zayn
Malik, suamiku. Sejak pertemuan kami malam itu, Zayn terus mendekatiku sampai
akhirnya ia melamarku. Sekarang aku mengerti, roda kehidupan akan selalu
berputar. Saat aku berada di bawah, Allah tidak pernah meninggalkanku. Ia
memberiku Niall yang menyemangatiku, dan menyadarkanku bahwa masih ada Allah di
sampingku. Dan saat ini, ketika aku menggapai kesuksesan ini, Allah memberikan
Zayn di sampingku. Aku bahagia. Terima kasih Ya Allah. Sesungguhnya engkau yang
Maha Pemberi.
***
Zayn
POV
Bidadariku tersenyum lembut
kepadaku. Ia memelukku begitu keluar dari dalam ruangan dokter. “Aku hamil.”
Bisiknya senang. Aku bahagia. Allah memberiku kebahagiaan ini. Ia memberiku
bidadari yang akan selalu ada di sampingku, yang akan selalu menyemangati saat
aku lelah. Orang tuaku tidak lagi bertengkar semenjak aku berbicara yang
sesungguhnya pada mereka. Semua ini berkat Danisse, bidadariku, penerang dalam
kegelapan yang menyelimuti kehidupanku.
***
Niall
POV
Aku melihatnya. Danisse sudah
bahagia bersama laki-laki yang kini menjadi suaminya. Ia sudah berhasil
menggapai impiannya. Setidaknya, aku bahagia melihat ia bahagia. Meski sebagian
kecil dari hatiku masih mencintainya.
“Niall, kau melihat apa? Ayo kita
ke gereja.” Demi Lovato, gadis cantik yang kini sudah memiliki sebagian besar
dari hatiku. Ia adalah istriku. Ibu dari anakku, Charice Horan. Ia menarik
tanganku menuju gereja, mengajakku berdoa kepada Tuhan untuk kehidupan kami
yang lebih baik lagi nantinya. Aku bahagia memiliki Demi, dialah malaikatku
sekarang.
***
“Tuhan
tidak akan pernah meninggalkan umatnya, sekalipun umatnya meninggalkannya.
Tuhan akan selalu ada disana, menemani umatnya dengan setia.” – Nadhira
Ramadhani.
“Jika
tidak ada lagi yang mengerti diriku, aku yakin hanya dirimulah yang masih
mengerti aku, Tuhan. Jika tidak ada lagi yang mampu mendengarku, aku yakin kau
masih setia berada disana untuk mendengarku berkeluh kesah. Sesungguhnya engkau
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” – Nadhira Ramadhani.
“Aku
akan membuktikan kepada dunia bahwa aku bisa. Bahwa aku sanggup meraih
harapanku.” – Nadhira Ramadhani.
“Aku
memang bukan yang terbaik, aku hanya berusaha untuk menjadi lebih baik dari
ini.” – Nadhira Ramadhani.
“Aku
percaya bahwa Tuhan akan memberikan kebahagiaan untukku suatu saat nanti.
Karena sesungguhnya roda kehidupan akan terus berputar.” – Nadhira Ramadhani.
THE
END
No comments:
Post a Comment