Tuesday, October 23, 2012

Aku Bukan Milli

Aku terdiam saat menyaksikan sebuah film berjudul ‘Milli & Nathan’ yang diputar kembali di sebuah stasiun televisi swasta. Naluriku sebagai seorang penulis cerita tergerak, langsung saja ku sambar notebook-ku dan menulis sebuah cerita. Film yang di bintangi oleh Olivia Lubis Jensen dan Christ Laurent itu mengingatkanku pada sahabatku, Odi. Nama Odi yang sebenarnya adalah Haudi Zakaria. Banyak orang yang bilang, aku dan Odi jodoh karena nama kami mirip. Namaku Audi Lusiana, hanya berbeda satu huruf saja. Tapi aku tidak benar-benar percaya terhadap perkataan orang, aku hanya menganggap perkataan orang-orang sebagai mitos belaka. Kalau Odi memang jodohku, kenapa dia tega meninggalkanku? Dia pergi dalam jangka waktu yang lama tanpa mau menghubungiku terlebih dahulu. Selalu saja aku yang pertama menghubunginya. Tentu saja, sebagai perempuan aku ingin Odi lah yang menghubungiku terlebih dahulu, dia kan laki-laki. Tapi semua mungkin hanya ada dalam hayalku, Odi tidak akan pernah menghubungiku sebelum aku menghubunginya.
“Lo kenapa bengong terus, Di?” Laura mengejutkanku dengan pertanyaannya.
Aku mengerjapkan mataku dan tersenyum kepada Laura, teman SMA-ku. “Gue gak kenapa-napa kok, Ra. Hehe.” Ku sesap jus strawberryku.
Laura memutar bola matanya lalu menatap Rere yang berada di sampingku, “Tuh temen lo Re, mikirin Odi terus kerjaannya.” Celetuk Laura. Gadis berambut hitam panjang itu memang tahu betul karakter dan perasaanku.
“Ih apaan sih lo, Ra? Sensi banget sama Odi? Gue kan enggak bilang kalau gue lagi mikirin Odi.” Ujarku sambil membaca majalah fashion yang baru ku terima pagi tadi.
Laura hanya tersenyum miring sambil mengedikkan bahunya, “Gue kan tau elo, Di. Gue ngerti banget kalau lo lagi galau gara-gara film itu kan?”
Aku tertawa sesaat, “Sok tau deh. Udah yuk, sebentar lagi kita masuk.”
Kami meninggalkan kantin dan berjalan menuju kelas kami yang berada di lantai dasar dekat ruang piket. Dalam pikiranku, nama Odi selalu muncul dan muncul. Kenapa belakangan ini aku kembali memikirkan Odi? Padahal sudah hampir sebulan ini aku tidak lagi menghubunginya. Atau pun berusaha untuk mengingatnya.
***
“Aku capek. Aku capek nungguin kamu, aku capek ngelupain kamu. Kamu kasih aku harapan, terus enggak. Kamu terlalu abu-abu untukku.” Aku selalu teringat oleh kata-kata yang di ucapkan Milli dalam film itu. Bagaimana pun, aku tahu benar apa yang Milli rasakan. Bagaimana sakitnya menunggu, bagaimana sakitnya melupakan, bagaimana sakitnya menahan semua perasaan yang ada di dalam hati. Sesungguhnya aku benar-benar paham apa itu rasanya menunggu dan mencoba melupakan namun tidak pernah berhasil.
“Audi, gue ngerasa seperti sahabatnya Milli dalam film itu deh. Gue selalu nyoba untuk bilang ke lo kalau lo itu harus move on.” Laura membereskan buku pelajaran yang baru saja kami baca. Ya, ini selayaknya kegiatan rutin kami setiap minggu untuk belajar bersama.
Aku tersenyum menanggapi ocehan Laura, “Laura-ku sayang, move on itu emang mudah banget di ucapin, tapi tak mudah di lakukan. Move on itu bukan hanya sekedar melupakan orang yang pernah kita sayang, tapi move on juga harus punya tujuan. Kalau gue gak punya tujuan, gimana caranya gue move on?” tanyaku.
Laura mengedikkan bahunya, “Ya, cari cowok baru lah Di. Kita kan sudah SMA, sudah saatnya kan mengenal cinta?”
Aku tertawa. Enak sekali dia berbicara seperti itu. Seperti tidak ada beban sama sekali, seperti tidak ada tembok besar yang menghalangiku untuk mengenal cinta. Aku bukan perempuan cantik seperti Laura, aku bukan perempuan yang disenangi oleh banyak laki-laki. Aku adalah diriku. Aku hanya mencoba menjadi diriku sendiri, meskipun aku tahu dengan begini aku akan sulit mengenal satu hal kecil namun gila yang bernamakan cinta.
***
Aku mencoba untuk tidak menghubungi Odi lagi. Sudah 1 bulan. Baru 1 bulan, namun rasanya sudah lama sekali tidak berbicara dengannya. Aku berharap Odi akan menghubungiku dan bercerita padaku apapun tentang dirinya, namun aku tahu Odi tidak akan melakukan itu.
Hi Odi, apa kabar?
Ku kirimkan satu pesan singkat untuk Odi. Aku berusaha menahan hasratku untuk menghubunginya, namun aku tak pernah bisa melakukan ini. Aku pasti akan tetap menghubunginya dan bercerita apapun kepadanya.
Hi, gue baik. Lo gimana?
Kami terus berhubungan sampai larut malam. Selama kami saling mengirim pesan, aku merasa tidak pernah ada yang spesial dari ini. Maksudku, dia tidak pernah memulai topic pembicaraan jika bukan aku yang memulainya, apakah aku harus selalu memulai? Aku kan perempuan, aku tidak mungkin terus memulai.
Cie, berarti sekarang sudah ada perempuan beruntung yang berhasil ngedapatin hati lo dong? Cie Odi, kasmaran!
Rasanya aku ingin menangis sekarang juga. Odi menyukai gadis lain. Dia senang berada di samping gadis itu, dia bisa terdengar begitu bahagia karena gadis itu, bukan karena aku. Aku hanya bisa berpura-pura senang untuknya, aku berpura-pura bercerita tentang orang lain padanya meskipun kenyataannya adalah aku menyukainya. Hidupku, jalan ceritaku dengan Odi, selalu di selimuti keterpura-puraan dan aku benci akan hal itu. Tidak bisa kah aku berada pada kenyataan yang membuatku senang? Yang membuatku tersenyum?
Ya, semacam itu lah. Kalau lo gimana Di?
Ku hapus air mataku dengan tangan kananku. Ku ketik kata-kata yang sebenarnya tidak pernah ingin ku katakan padanya atau pun orang lain. Aku sakit dan dia harus tau hal itu.
Gue lagi gak ingin jatuh cinta. Cinta itu bullshit.
Aku bukan Milli yang setidaknya pernah merasakan kasih sayang dari Nathan. Aku bukan Milli yang setidaknya pernah mendapat perhatian dari Nathan. Aku bukan Milli yang setidaknya pernah merasakan kesenangan bersama Nathan. Aku bukan Milli yang bisa berhasil menulis novel-novelnya yang menjadi best seller. Aku hanyalah diriku yang bahkan tidak istimewa untuk siapapun. Aku hanyalah diriku yang berkutik dengan khayalan dan mimpi. Namun aku yakin, aku bisa seperti Milli yang akhirnya mendapatkan seseorang yang jelas untuknya suatu saat nanti. Seperti kata Laura, setiap orang pasti akan mendapatkan sesuatu yang jelas untuknya suatu saat nanti.
***
Aku ingin move on. Aku tidak ingin terus-menerus bertahan pada perasaan yang tak akan mungkin terbalaskan. Aku tidak ingin bertahan pada perasaan yang bahkan tak pernah ku ungkapkan. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya di cintai dan mencintai bukan mencintai namun tak di cintai.
“Kita masih kecil, Di. Masih begitu banyak hal yang kita gak tau. Jangan mikirin Odi terus.” Laura menyenggol pelan bahuku dan mengelusnya.
Aku menggeleng, “Gue gak mikirin Odi, siapa sih yang mikirin dia?” ujarku sekenanya. Aku memang tidak pernah bisa berbohong pada Laura ataupun Rere. Aku benci sifatku yang satu ini.
Rere tertawa kecil, “Jangan bohong deh, Audiku sayang. Gak apa-apa sih lo galau sekarang, tapi lo harus janji besok gak boleh galau lagi.”
Aku mengangguk. Ku tutup wajahku dengan kedua tangan dan menangis sepuas hatiku. Milli memiliki perhatian Nathan, namun aku tidak. Milli dan Nathan saling mencintai, keduanya terpisah karena Nathan yang lebih mementingkan pendidikan, berbeda dengan aku dan Odi. Odi bahkan tidak pernah mengingatku sebelum akhirnya ku ingatkan. Aku bukan Milli dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah menjadi sepertinya. Odi tidak akan menyimpan perasaan yang begitu besar padaku selayaknya Nathan menyimpan perasaannya kepada Milli. It will never be.
***
Cinta bisa membuat seseorang senang, bisa juga sedih, atau bahkan gila karenanya. Cinta adalah sebuah keistimewaan yang tuhan berikan bukan sebuah omong kosong. Cinta bisa menjadi istimewa karena ada dua insan manusia di dalamnya yang bisa saling menghargai, saling mengasihi, dan saling memahami.  Cinta merupakan sebuah ketulusan yang berasal dari dalam hati manusia.
Ku tulis kata demi kata dalam sebuah kertas putih. Menuliskan perasaan yang tak pernah terbalaskan. Aku memang tak pernah sanggup mengatakan semua perasaan ini. Tentang betapa berartinya Odi untukku, betapa pentingnya Odi untukku, betapa besarnya perasaanku untuknya. Maafkan aku Odi, aku harus melupakanmu. Aku sadar semua tidak akan berjalan sesuai dengan inginku. Semuanya berbeda disini. Kau dan aku memiliki jalan hidup sendiri-sendiri. Aku menganggap Odi lebih dari sahabat, namun nyatanya kau hanya menganggapku teman. Aku sadar aku bukan gadis yang Odi inginkan. Sekali lagi, aku hanyalah diriku.
“Selamat tinggal Odi. Maaf selama ini selalu merepotkanmu. Maaf aku selalu memberatkanmu dengan cerita-ceritaku yang bahkan gak penting untukmu. Aku memang bodoh sudah menganggapmu sahabatku atau bahkan lebih dari itu dan seenaknya terus bercerita kepadamu, sedangkan kamu saja hanya menganggapku sebatas teman dan tidak lebih.” Ku letakan botol kaca berisi suratku untuk Odi di tepi pantai.
Ombak membawa botol kaca itu menjauh hingga hilang dari pandanganku. Aku bukan Milli yang bisa bertahan untuk tetap menunggu Nathan selama apapun itu. Aku hanyalah seorang Audi Lusiana yang tidak bisa bertahan selama itu. Odi telah menemukan kehidupannya dan itu tanpa aku.
“Audi! Sudah belum sih? Lo lagi ngapain disana sendirian? Sini dong gabung! Kita mau jalan-jalan ke pasar malam nih.” Ku hapus air mataku yang mengalir di pipi chubbyku dan menghampiri Laura, Rere, Keke, dan Anna yang tengah menungguku di depan cottage.
Hidup harus terus berjalan, meski tanpa kau yang menemani setiap langkahku. Cinta tidak harus saling memiliki, aku hanya mencoba untuk merelakan Odi menemukan jalan hidupnya sendiri tanpa aku yang terus mengganggu kehidupannya. Aku juga akan menemukan jalan hidupku sendiri suatu saat nanti. Aku menyayangi Odi dan itu selamanya. Dia adalah sahabatku, bahkan sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Namun aku tak bisa terus bergantung kepadanya, tak bisa terus menjadi sahabatnya karena perasaan ini memang merusak segalanya. Aku menjauh bukan karena aku membencinya, aku menjauh karena justru aku ingin persahabataan ini tidak ternodai oleh perasaan ini. Aku memang tidak bisa tersenyum saat hatiku dilanda kegalauan karena Odi, karena aku bukan milli....


TAMAT

No comments:

Post a Comment