Aku terdiam saat
menyaksikan sebuah film berjudul ‘Milli & Nathan’ yang diputar kembali di
sebuah stasiun televisi swasta. Naluriku sebagai seorang penulis cerita
tergerak, langsung saja ku sambar notebook-ku dan menulis sebuah cerita. Film
yang di bintangi oleh Olivia Lubis Jensen dan Christ Laurent itu mengingatkanku
pada sahabatku, Odi. Nama Odi yang sebenarnya adalah Haudi Zakaria. Banyak
orang yang bilang, aku dan Odi jodoh karena nama kami mirip. Namaku Audi
Lusiana, hanya berbeda satu huruf saja. Tapi aku tidak benar-benar percaya
terhadap perkataan orang, aku hanya menganggap perkataan orang-orang sebagai
mitos belaka. Kalau Odi memang jodohku, kenapa dia tega meninggalkanku? Dia
pergi dalam jangka waktu yang lama tanpa mau menghubungiku terlebih dahulu.
Selalu saja aku yang pertama menghubunginya. Tentu saja, sebagai perempuan aku
ingin Odi lah yang menghubungiku terlebih dahulu, dia kan laki-laki. Tapi semua
mungkin hanya ada dalam hayalku, Odi tidak akan pernah menghubungiku sebelum
aku menghubunginya.
“Lo kenapa bengong
terus, Di?” Laura mengejutkanku dengan pertanyaannya.
Aku mengerjapkan mataku
dan tersenyum kepada Laura, teman SMA-ku. “Gue gak kenapa-napa kok, Ra. Hehe.”
Ku sesap jus strawberryku.
Laura memutar bola
matanya lalu menatap Rere yang berada di sampingku, “Tuh temen lo Re, mikirin
Odi terus kerjaannya.” Celetuk Laura. Gadis berambut hitam panjang itu memang
tahu betul karakter dan perasaanku.
“Ih apaan sih lo, Ra?
Sensi banget sama Odi? Gue kan enggak bilang kalau gue lagi mikirin Odi.”
Ujarku sambil membaca majalah fashion yang baru ku terima pagi tadi.
Laura hanya tersenyum
miring sambil mengedikkan bahunya, “Gue kan tau elo, Di. Gue ngerti banget
kalau lo lagi galau gara-gara film itu kan?”
Aku tertawa sesaat,
“Sok tau deh. Udah yuk, sebentar lagi kita masuk.”
Kami meninggalkan
kantin dan berjalan menuju kelas kami yang berada di lantai dasar dekat ruang
piket. Dalam pikiranku, nama Odi selalu muncul dan muncul. Kenapa belakangan
ini aku kembali memikirkan Odi? Padahal sudah hampir sebulan ini aku tidak lagi
menghubunginya. Atau pun berusaha untuk mengingatnya.
***
“Aku
capek. Aku capek nungguin kamu, aku capek ngelupain kamu. Kamu kasih aku
harapan, terus enggak. Kamu terlalu abu-abu untukku.”
Aku selalu teringat oleh kata-kata yang di ucapkan Milli dalam film itu.
Bagaimana pun, aku tahu benar apa yang Milli rasakan. Bagaimana sakitnya
menunggu, bagaimana sakitnya melupakan, bagaimana sakitnya menahan semua
perasaan yang ada di dalam hati. Sesungguhnya aku benar-benar paham apa itu
rasanya menunggu dan mencoba melupakan namun tidak pernah berhasil.
“Audi, gue ngerasa
seperti sahabatnya Milli dalam film itu deh. Gue selalu nyoba untuk bilang ke
lo kalau lo itu harus move on.” Laura membereskan buku pelajaran yang baru saja
kami baca. Ya, ini selayaknya kegiatan rutin kami setiap minggu untuk belajar
bersama.
Aku tersenyum
menanggapi ocehan Laura, “Laura-ku sayang, move on itu emang mudah banget di
ucapin, tapi tak mudah di lakukan. Move on itu bukan hanya sekedar melupakan
orang yang pernah kita sayang, tapi move on juga harus punya tujuan. Kalau gue
gak punya tujuan, gimana caranya gue move on?” tanyaku.
Laura mengedikkan
bahunya, “Ya, cari cowok baru lah Di. Kita kan sudah SMA, sudah saatnya kan
mengenal cinta?”
Aku tertawa. Enak
sekali dia berbicara seperti itu. Seperti tidak ada beban sama sekali, seperti
tidak ada tembok besar yang menghalangiku untuk mengenal cinta. Aku bukan
perempuan cantik seperti Laura, aku bukan perempuan yang disenangi oleh banyak
laki-laki. Aku adalah diriku. Aku hanya mencoba menjadi diriku sendiri,
meskipun aku tahu dengan begini aku akan sulit mengenal satu hal kecil namun
gila yang bernamakan cinta.
***
Aku mencoba untuk tidak
menghubungi Odi lagi. Sudah 1 bulan. Baru 1 bulan, namun rasanya sudah lama
sekali tidak berbicara dengannya. Aku berharap Odi akan menghubungiku dan
bercerita padaku apapun tentang dirinya, namun aku tahu Odi tidak akan
melakukan itu.
Hi Odi, apa kabar?
Ku kirimkan satu pesan
singkat untuk Odi. Aku berusaha menahan hasratku untuk menghubunginya, namun
aku tak pernah bisa melakukan ini. Aku pasti akan tetap menghubunginya dan
bercerita apapun kepadanya.
Hi, gue baik. Lo gimana?
Kami terus berhubungan
sampai larut malam. Selama kami saling mengirim pesan, aku merasa tidak pernah
ada yang spesial dari ini. Maksudku, dia tidak pernah memulai topic pembicaraan
jika bukan aku yang memulainya, apakah aku harus selalu memulai? Aku kan
perempuan, aku tidak mungkin terus memulai.
Cie, berarti sekarang sudah ada perempuan
beruntung yang berhasil ngedapatin hati lo dong? Cie Odi, kasmaran!
Rasanya aku ingin
menangis sekarang juga. Odi menyukai gadis lain. Dia senang berada di samping
gadis itu, dia bisa terdengar begitu bahagia karena gadis itu, bukan karena
aku. Aku hanya bisa berpura-pura senang untuknya, aku berpura-pura bercerita
tentang orang lain padanya meskipun kenyataannya adalah aku menyukainya.
Hidupku, jalan ceritaku dengan Odi, selalu di selimuti keterpura-puraan dan aku
benci akan hal itu. Tidak bisa kah aku berada pada kenyataan yang membuatku
senang? Yang membuatku tersenyum?
Ya, semacam itu lah. Kalau lo gimana Di?
Ku hapus air mataku
dengan tangan kananku. Ku ketik kata-kata yang sebenarnya tidak pernah ingin ku
katakan padanya atau pun orang lain. Aku sakit dan dia harus tau hal itu.
Gue lagi gak ingin jatuh cinta. Cinta
itu bullshit.
Aku bukan Milli yang setidaknya
pernah merasakan kasih sayang dari Nathan. Aku bukan Milli yang setidaknya
pernah mendapat perhatian dari Nathan. Aku bukan Milli yang setidaknya pernah
merasakan kesenangan bersama Nathan. Aku bukan Milli yang bisa berhasil menulis
novel-novelnya yang menjadi best seller. Aku hanyalah diriku yang bahkan tidak
istimewa untuk siapapun. Aku hanyalah diriku yang berkutik dengan khayalan dan
mimpi. Namun aku yakin, aku bisa seperti Milli yang akhirnya mendapatkan
seseorang yang jelas untuknya suatu saat nanti. Seperti kata Laura, setiap
orang pasti akan mendapatkan sesuatu yang jelas untuknya suatu saat nanti.
***
Aku ingin move on. Aku
tidak ingin terus-menerus bertahan pada perasaan yang tak akan mungkin
terbalaskan. Aku tidak ingin bertahan pada perasaan yang bahkan tak pernah ku
ungkapkan. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya di cintai dan mencintai bukan
mencintai namun tak di cintai.
“Kita masih kecil, Di.
Masih begitu banyak hal yang kita gak tau. Jangan mikirin Odi terus.” Laura
menyenggol pelan bahuku dan mengelusnya.
Aku menggeleng, “Gue gak
mikirin Odi, siapa sih yang mikirin dia?” ujarku sekenanya. Aku memang tidak
pernah bisa berbohong pada Laura ataupun Rere. Aku benci sifatku yang satu ini.
Rere tertawa kecil,
“Jangan bohong deh, Audiku sayang. Gak apa-apa sih lo galau sekarang, tapi lo
harus janji besok gak boleh galau lagi.”
Aku mengangguk. Ku
tutup wajahku dengan kedua tangan dan menangis sepuas hatiku. Milli memiliki
perhatian Nathan, namun aku tidak. Milli dan Nathan saling mencintai, keduanya
terpisah karena Nathan yang lebih mementingkan pendidikan, berbeda dengan aku
dan Odi. Odi bahkan tidak pernah mengingatku sebelum akhirnya ku ingatkan. Aku
bukan Milli dan sampai kapanpun aku tidak akan pernah menjadi sepertinya. Odi
tidak akan menyimpan perasaan yang begitu besar padaku selayaknya Nathan
menyimpan perasaannya kepada Milli. It will never be.
***
Cinta bisa membuat
seseorang senang, bisa juga sedih, atau bahkan gila karenanya. Cinta adalah
sebuah keistimewaan yang tuhan berikan bukan sebuah omong kosong. Cinta bisa
menjadi istimewa karena ada dua insan manusia di dalamnya yang bisa saling
menghargai, saling mengasihi, dan saling memahami. Cinta merupakan sebuah ketulusan yang berasal
dari dalam hati manusia.
Ku tulis kata demi kata
dalam sebuah kertas putih. Menuliskan perasaan yang tak pernah terbalaskan. Aku
memang tak pernah sanggup mengatakan semua perasaan ini. Tentang betapa
berartinya Odi untukku, betapa pentingnya Odi untukku, betapa besarnya
perasaanku untuknya. Maafkan aku Odi, aku harus melupakanmu. Aku sadar semua
tidak akan berjalan sesuai dengan inginku. Semuanya berbeda disini. Kau dan aku
memiliki jalan hidup sendiri-sendiri. Aku menganggap Odi lebih dari sahabat,
namun nyatanya kau hanya menganggapku teman. Aku sadar aku bukan gadis yang Odi
inginkan. Sekali lagi, aku hanyalah diriku.
“Selamat tinggal Odi.
Maaf selama ini selalu merepotkanmu. Maaf aku selalu memberatkanmu dengan
cerita-ceritaku yang bahkan gak penting untukmu. Aku memang bodoh sudah
menganggapmu sahabatku atau bahkan lebih dari itu dan seenaknya terus bercerita
kepadamu, sedangkan kamu saja hanya menganggapku sebatas teman dan tidak
lebih.” Ku letakan botol kaca berisi suratku untuk Odi di tepi pantai.
Ombak membawa botol
kaca itu menjauh hingga hilang dari pandanganku. Aku bukan Milli yang bisa
bertahan untuk tetap menunggu Nathan selama apapun itu. Aku hanyalah seorang
Audi Lusiana yang tidak bisa bertahan selama itu. Odi telah menemukan
kehidupannya dan itu tanpa aku.
“Audi! Sudah belum sih?
Lo lagi ngapain disana sendirian? Sini dong gabung! Kita mau jalan-jalan ke
pasar malam nih.” Ku hapus air mataku yang mengalir di pipi chubbyku dan menghampiri
Laura, Rere, Keke, dan Anna yang tengah menungguku di depan cottage.
Hidup harus terus
berjalan, meski tanpa kau yang menemani setiap langkahku. Cinta tidak harus
saling memiliki, aku hanya mencoba untuk merelakan Odi menemukan jalan hidupnya
sendiri tanpa aku yang terus mengganggu kehidupannya. Aku juga akan menemukan
jalan hidupku sendiri suatu saat nanti. Aku menyayangi Odi dan itu selamanya.
Dia adalah sahabatku, bahkan sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Namun aku
tak bisa terus bergantung kepadanya, tak bisa terus menjadi sahabatnya karena
perasaan ini memang merusak segalanya. Aku menjauh bukan karena aku
membencinya, aku menjauh karena justru aku ingin persahabataan ini tidak
ternodai oleh perasaan ini. Aku memang tidak bisa tersenyum saat hatiku dilanda
kegalauan karena Odi, karena aku bukan milli....
TAMAT
No comments:
Post a Comment